Kegagalan Intelektual
Pada awalnya tulisan ini kuberi judul “Kebodohanku”, namun karena rasanya agak kasar, maka aku menggantinya menjadi judul yang tertera tersebut. Aku mengambil istilah ‘kegagalan intelektual’ itu dari Mas Prie GS, beliau cukup sering menggunakannya dalam tulisan-tulisannya.
Semester ini aku skripsian, sebenarnya sudah sejak semester lalu aku hanya mengambil skripsi, namun nyaris sama sekali tidak ada progress yang berarti dari semester lalu. Kiranya januari kemarin adalah awal dimana aku menjadi agak serius menyelesaikan skripsi. Sejak itu, aku mulai akrab dengan berbagai ketegangan yang lumrah menghinggapi mahasiswa-mahasiswa skripsian.
Beberapa hari lalu aku menguji coba skala yang hendak menjadi alat ukur penelitian tugas akhirku. Barangkali karena ketergesaan, aku tidak memperhitungkan banyak hal, termasuk minimnya ilmu terkait hal tersebut. Hanya gass gass aja.. dan pada akhirnya aku menyesal, terdapat kelalaian yang terlambat aku sadari (ya iya kalau tidak terlambat disadari bukan lalai namanya 🤣).
Penelitianku ditujukan untuk mahasiswa yang kuliah di Jogja. Semestinya untuk uji coba skala alangkah baik mengambil responden dari luar jogja. Namun entah karena apa — yang jelas karena ketidaktahuan serta ketidakpahamanku — aku mengambil responden mahasiswa Jogja.
Aku sadar kesalahanku itu setelah membaca-baca literatur dan hasil diskusi dengan beberapa kawan. Namun terlambat, responden uji coba skala tersebut sudah hampir terpenuhi.
Aku berpikir keras. Kucari-cari bagaimana sebaiknya. Jika aku mengulang untuk menguji coba skala dengan mencari responden luar jogja, agar yang di jogja nantinya bisa menjadi responden data asli, tetap saja mereka sudah tahu skala yang kugunakan. Dan tentu saja hal itu akan melanggar azas penelitian ilmiah.
Setelah agak dingin kepalaku, akhirnya aku menemukan opsi lain, barangkali itu solusi paling masuk akal, yakni dengan menambahi persyaratan pada kriteria responden yang dibutuhkan ‘belum pernah mengisi uji coba skala peneliti pada waktu sebelumnya’, kurang lebih seperti itu.
Yang aku pahami sebenarnya sah-sah saja mengambil responden uji coba skala dengan kriteria yang sama persis, namun tentu hal tersebut akan menyulitkanku nantinya saat mengambil data asli, karena responden yang sudah mengisi kuesioner uji coba tidak bisa lagi mengisi kuesoiner untuk data yang asli. Jikalau koneksi perkenalanku luas mungkin tak kan menjadi masalah, namun jika tidak, tentu akan menjadi persoalan. Dan aku termasuk golongan yang kedua, koneksi pertemananku sedikit!
Karena aku memilih opsi itu, maka aku harus lebih gencar mencari responden. Agak susah memang, teman-teman yang lumayan aku kenal sudah terlanjur aku mintai tolong untuk mengisi uji coba skala, dan karena itu untuk pengambilan data asli, aku hanya bisa minta tolong ke mereka untuk menyebarkan kuesionerku, bukan lagi untuk mengisinya.
Benar saja, selama seminggu penyebaran kuesioner, responden yang terkumpul hanya berjumlah 60. Padahal targetnya 200. Padahal hampir semua upaya sudah aku kerahkan, bikin story di ig, wa, fb; bikin postingan di fb, line; ngechat teman-teman yang cukup aku kenal, ngechat kenalan dosen dari univ lain. Rasanya sudah hampir di ujung jalan, mau pakai cara apa lagi?
Tapi ternyata masih ada cara lain, cara yang cukup bringas, dan aku terpaksa harus mematikan urat malu dan rasa sungkanku barang sejenak. Cara itu adalah menge-chat orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu kukenal. Ini barangkali rasa sungkannya malah berlipat dibanding ngechat orang yang sama sekali tidak kenal. Hahaha walaupun rasanya gaenak sksd gitu tuh, ternyata cara itu cukup ampuh menambah responden penelitianku. Hanya selang dua hari saja responden sudah bertambah 50an, padahal waktu sebelumnya untuk mendapatkan 60 responden butuh waktu seminggu. Tepat dua minggu sejak menyebar skala, akhirnya responden penelitianku terpenuhi, bahkan cukup berlebihan jika dibandingkan target.
Hmm.. ya, in the end akan selalu ada opsi jalan keluar. Kadang aku berpikir mengapa terlalu dipikirkan dengan hebat ketika membuat kesalahan-kesalahan itu. Toh dari kesalahan akan banyak hal yang bisa diambil. Pemahaman yang lebih awet misalnya.
Ya tapi kan sudah terlambat, bukan waktunya lagi membuat kesalahan sepele seperti itu. Kamu sudah mau lulus lo, masa hal sepele gini aja belum paham.
Lah bagaimana kalau kamu sampai lulus pun malah belum paham. Malah akan terlambat lagi bukan (?). Untung masih diingatkannya sekarang.
Aku jadi teringat salah seorang teman, yang ia selalu bisa mengambil hal-hal remeh untuk disyukuri, bahkan dalam keadaan buruk sekalipun. ‘Setidaknya aku tidak melakukan/memperoleh hal yang lebih buruk dari itu’ kira-kira begitu.
Teringat pula kisah dua bata jelek dalam buku cacing dan kotoran kesayangannya. Buat apa terlalu merisaukan dua bata jelek, sedangkan masih ada 998 bata lainnya yang bagus. Ah manusia selalu begitu (lebih tepatnya aku sendiri), sering mempersoalkan perkara kecil yang kemudian membesar-besarkannya. Padahal yang besar.., yang sejatinya lebih berarti malah tidak dihiraukan.
Sebenarnya aku malu menuliskan cerita ini, namun aku bersekapat untuk menjadikannya pelajaran bagi diri pribadi. Bahwa intelektual perlu diasah, itu harus. Karena dengan itu, kegagalan-kegagalan memalukan seperti ini tidak kembali terulang.