Repetisi

Pada akhirnya selama kita masih hidup akan selalu dihadapkan dengan repetisi. Pengulangan demi pengulangan kita lakukan, ini keniscayaan. Seperti kita makan walaupun nantinya kita tahu akan lapar lagi.

Dwi Hendrianto
2 min readFeb 11, 2021
Photo by Peter Kleinau on Unsplash

Tadi sore aku mencuci motor setelah sekian lama tampak dekil, maklum musim hujan. Setelah motor bersih aku balik ke kos, enggan kemana-mana, sayang kalau habis dicuci kotor lagi.

Namun, ternyata kemudian ada ajakan teman untuk makan bareng malamnya. Sebenarnya aku sudah memberi syarat, Oke ayok makan, tapi kalau hujan aku gaikut ya. Mau di kos aja. Hehe

Sebelum maghrib hujan turun, pikirku ‘yaudah aku gaikut makan’, lagipula teman-teman memilih tempat yang cukup jauh dari kos tempat aku tinggal. Tak berselang lama hujan berhenti, dan mau ga mau harus menepati janji kan.

Setelah maghrib, aku berangkat untuk makan bareng teman. Kunyalakan motor kemudian kukendarai dengan santai agar tidak terlalu banyak kecipratan lumpur. Hahaha segitunya ya aku.

Eh baru jalan bentar hujan turun, turunnya langsung deres lagi. Ah sial, motorku kotor lagi. Yah.. tapi apa boleh buat sudah terlanjur basah, akhirnya aku menepi untuk memakai mantol dan kemudian lanjut menuju tempat makan. Untung makanannya enak, jadi engga terlalu ngedumel deh.

Adalah kekonyolan berharap motor bisa selalu bersih. Kecuali memang sama sekali tidak digunakan; dan tidak digunakan sama sekali pun pasti akan berdebu. Sama seperti hal-hal dalam hidup kita lainnya yang tidak bisa selalu dalam keadaan baik.

Kita makan walaupun nanti akan lapar lagi. Kita minum walupun nanti akan haus lagi. Kita mandi walaupun nanti akan kotor lagi. Kita senang walaupun nanti akan sedih lagi. Kita bangkit walaupun nanti akan jatuh lagi.

Repetisi-repetisi itu akan selalu ada selama manusia hidup. Dan mau tidak mau kita harus melaluinya. Jika tidak, barangkali akan ada bagian dari hidup kita yang rusak, tidak berfungsi lagi. Ibarat motor yang kotor, jika kita tidak mau mencucinya, lama kelamaan motor itu bukan hanya kotor melainkan bisa juga rusak; karatan dan semacamnya.

Sama halnya saat kita berbuat dosa; kita bertaubat walaupun nanti akan berbuat dosa lagi. Bukan berarti merencakan nanti akan berbuat dosa, tanpa direncanakan pun tentu manusia akan berbuat kesalahan lagi dan lagi bukan(?).

Bagi muslim barangkali itulah mengapa kita diperintahkan untuk sholat. Dalam sebuah hadist, sholat diibaratkan seperti mandi dari air sungai setiap hari lima kali, apakah akan tersisa kotorannya walau sedikit?

Meski kita mungkin banyak dosa, yang seringkali menjadikan kita malu melakukan sholat — sebab di lain sisi kita berbuat dosa, banyak dosa. Kita mesti tetap berusaha melakukannya, kita bisa menjadikan sholat sebagai salah satu upaya agar diri kita tidak benar-benar menjadi karatan — layaknya motor yang tidak pernah dicuci, yang mana akan rusak dan jauh lebih sulit untuk diperbaiki.

Pada akhirnya selama kita masih hidup akan selalu dihadapkan dengan repetisi. Dengan tetap menjalaninya merupakan bentuk keberanian yang besar; kita tidak menyerah pada hidup!

--

--

Dwi Hendrianto

Karena aku bukan orang hebat, yang cerita²nya biasa dituliskan oleh orang lain; maka aku tuliskan sendiri cerita²ku