Self control

Karena di tengah terpaparnya informasi, sebenarnya kita sudah tahu bagaimana melakukan sesuatu yang kita inginkan. Hanya saja semua itu pada akhirnya kembali pada diri sendiri, tergantung bagaimana kita bisa benar-benar melakukannya.

4 min readFeb 11, 2021
Photo by Chris Leipelt on Unsplash

Kita tentu pernah mendapat kata-kata indah yang kemudian kita jadikan pegangan hidup. Berharap dengannya kehidupan kita menjadi lebih baik.

Seminar motivasi, buku-buku self improvement, quotes semangat sudah menjadi hal lumrah yang biasa kita temui dewasa ini. Terlebih dengan adanya sosial media, konten-konten positif seperti itu tersebar dengan mudah.

Sesuatu yang pada awalnya saya gandrungi, kemudian benar-benar saya jauhi untuk beberapa tahun terakhir. Sebab yang terjadi bukannya perbaikan, justru malah tekanan — tidak bisa menjadi seperti mereka.

Memang tujuannya baik, memberi motivasi, memberi semangat. Namun, ketika dihadapkan pada realita hidup pribadi, semua itu rasanya bullshit. Ya memang seperti itu, tiap manusia hidup dalam keadaan yang bermacam-macam. Perlakuan, kemampuan, dan kesempatan yang ditemui dalam hidup berbeda.

Bahkan saya pernah sampai benar-benar muak dengan kata-kata motivasi itu. Mencekoki ide-ide yang diri sendiri tak mengalaminya, seperti mencekoki diri sendiri dengan obat yang tidak tahu itu untuk mengobati apa. Memang pada awalnya bisa membuat diri semangat, namun hanya berlangsung singkat.

Sesuatu yang pada awalnya membuat saya mengangguk seraya bilang can relate, untuk sesaat kemudian menjadi cant relate.

Entah sejak kapan saya menjadi lebih senang membaca novel dan menonton film ketimbang hal-hal seputar self improvement. Walaupun terkadang ada novel ataupun film yang sarat akan motivasi. Namun itu terasa lebih nyaman untuk dikomsumsi karena tidak menggurui.

Barangkali memang sudah default menjadi manusia untuk terus berkembang menjadi lebih baik. Baik dan lebih baik lagi, terus begitu, ujungnya adalah kematian. Selama manusia hidup, ia akan mencari dan terus mencari.

Zaman sekarang ini proses mencari menjadi lebih mudah. Banyak pengetahuan (re: informasi) yang bisa diperoleh hanya dengan sentuhan jari. Namun, dengan kemudahan yang ada tersebut seringkali menghilangkan sense of berjuang. Sebagai akibatnya kita menjadi kurang menghargai pengetahuan yang telah diperoleh, karena untuk mendapatkannya begitu mudah.

Berbeda dengan kehidupan manusia sebelumnya, mereka dulu adalah orang-orang yang harus berjuang keras untuk mendapatkan sedikit pengetahuan. Namun karena perjuangan yang sedemikian keras, pengetahuan yang sedikit itu menjadi lebih berarti, bermakna, dan begitu dihargai.

Sekarang rasanya sudah tidak relevan jika tolak ukur kepintaran hanya dari banyaknya pengetahuan yang dimiliki. Sebab apa sih yang tidak bisa kita tahu ? — di internet semuanya ada.

Karena kemudahan-kemudahan itu, kini manusia kurang merasakan sense of berjuang untuk mengetahui sesuatu. Kita mudah untuk mengetahui dan mudah juga untuk melupakan. Sehingga benar pepatah bilang ‘sesuatu yang mudah datang, mudah juga pergi’.

Saya rasa kemampuan yang diperlukan saat ini lebih menitik beratkan bagaimana membuat apa yang diketahui menjadi suatu yang lebih berharga, yakni menerapkannya.

Karena di tengah terpaparnya informasi, sebenarnya kita sudah tahu bagaimana melakukan sesuatu yang kita inginkan. Hanya saja semua itu pada akhirnya kembali pada diri sendiri, tergantung bagaimana kita bisa benar-benar melakukannya.

Dalam ranah psikologi biasa dikenal dengan self-control (kontrol diri), yakni kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur emosi, dan mengarahkan perilaku yang dapat membawa ke arah tindakan yang positif. Melansir dari yayasanpulih.org, self control memiliki tiga aspek yaitu behavioral control, cognitive control, dan decisional control.

Behavioral control berkaitan dengan kemampuan mengendalikan perilaku di tengah peristiwa yang tidak menyenangkan; meliputi bagaimana kita bisa mengendalikan situasi yang terjadi dan bagaimana kita bisa tetap bersikap baik pada situasi yang tidak menyenangkan.

Cognitive control yakni kemampuan mengendalikan diri untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi dan menilai. Dengan mengendalikan persepsi (penilaian) terhadap informasi yang diperoleh, kita dapat mengantisipasi peristiwa yang tidak menyenangkan, kemudian merencanakan respon yang adaptif dengan berbagai pertimbangan.

Decisional control adalah kemampuan mengendalikan diri untuk memilih suatu tindakan berdasarkan apa yang kita yakini. Ini penting, sebab mungkin kita sering memilih tindakan bukan berdasarkan apa yang kita yakini, melainkan berdasarkan apa yang kebanyakan orang lakukan. Dan bisa jadi tindakan itu salah menurut apa yang kita yakini.

Intinya self control adalah tentang mengambil alih kehidupan kita sendiri. Menjadikan diri sendiri sebagai pelaku utama (aktor) yang memiliki peran penuh dalam hidup. Tidak impulsif, yang bertindak semaunya tanpa memikirkan konsekuensi ataupun bertindak hanya dikendalikan oleh lingkungan luar.

Pada akhirnya semua balik lagi pada diri sendiri. Soal kemauan tak ada satupun yang bisa ikut andil selain diri sendiri. Guru, teman, keluarga, ustadz, motivator? — tidak ada. Bergerak adalah tanggungjawab mandiri, tidak bisa diganggu gugat!

Kita tidak pernah tahu hidup kedepan akan seperti apa. Entah rintangan seperti apa yang akan kita temui. Namun yang pasti, sebenarnya kita punya kendali akan diri sendiri. Bu Bo (professor, dosen psikologi UGM) pernah berkata “Halangan itu akan selalu ada. Tapi jangan pernah berasal dari dalam diri sendiri. Terus maju.”

--

--

Dwi Hendrianto
Dwi Hendrianto

Written by Dwi Hendrianto

Karena aku bukan orang hebat, yang cerita²nya biasa dituliskan oleh orang lain; maka aku tuliskan sendiri cerita²ku

No responses yet